___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Monday, August 4, 2014

(No.45) - PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA

Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21





(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)

 

 

Periode Jaman Normal   



Nama resminya yang diberikan oleh para penulis buku sejarah adalah jaman “Penjajahan Belanda”. Periode sebelum tahun 1930an disebut jaman Normal oleh kakek-nenek yang pada saat penulisan buku ini, mereka sudah berumur di atas 90 tahun, kalau masih hidup. Pemberian resmi jaman Penjajahan bisa dimengerti karena para penulis buku sejarah yang direstui oleh pemerintah harus memberi nama yang berkonotasi negatif terhadap jaman Normal, untuk mendiskreditkan pemerintahan yang lalu (Hindia Belanda). Dan Belanda yang tidak ikut menyusun buku sejarah Indonesia, tidak bisa membela diri. Seperti halnya dengan kata Orde Lama (Orla, 1959 - 1966), penamaan ini bisa bernada negatif karena nama itu adalah nama pemberian pemerintahan berikutnya, yaitu Orde Baru (Orba, 1967 - 1997) dan pada saat penulisan sejarah itu politikus Orla sudah disingkirkan habis-habisan pada saat pergantian rejim. Berbeda halnya dengan jaman Reformasi, walaupun ada pergantian rejim, nama Orba masih dipakai karena masih banyak anasir-anasir Orba yang bercokol di dalam rejim Reformasi (1998 - ). Jadi..., sulit nama Orba ditukar menjadi Orde Lepas Landas Nyungsep, atau nama yang konotasi negatif lainnya. Catatan: nama Orde Lepas Landas Nyungsep cocok untuk pemerintahan rejim Suharto karena di dekade akhir pemerintahannya dicanangkan sebagai era lepas lamdas (apapun artinya) dan kemudian kenyataannya diakhiri dengan ekonomi yang nyungsep.

Jaman penjajahan Belanda walaupun nama resminya berkonotasi negatif, kakek nenek kita menyebutnya dengan nama yang megah yaitu jaman Normal. Seakan-akan jaman Revolusi (1945 – 1950), jaman Sukarno atau jaman Orba, tidak bisa dikategorikan sebagai jaman yang normal. Kenyataannya memang demikian. Ciri jaman Normal menurut mereka ialah harga barang tidak beranjak kemana-mana alias tetap. Di dalam keluarga, hanya suami saja yang kerja dan bisa menghidupi anak sampai 12 dan istri (kadang lebih dari satu). Ibu tetap di rumah merawat anak (yang banyak itu). Cukup sandang dan pangan. Gaji 1 bulan bisa dipakai foya-foya 40 hari (artinya tanpa harus menghemat, mereka masih bisa menabung). Dibandingkan dengan kondisi sekarang (apakah anda di jaman reformasi atau di jaman Orde Baru), suami dan istri bekerja untuk membiayai rumah dengan anak 2 orang dan itupun masih mengeluhkan gaji yang pas-pasan.

Karena merasa masih penasaran dengan tingkat kemakmuran masa itu, saya pernah tanyakan kepada mertua, berapa harga rumah dan makan dengan lauk yang wajar. Harga rumah di Kali Urang 1000 Gulden. Makan nasi dengan lauk, sayur dan minum 1 sen. Dengan kata lain harga rumah dulu adalah setara dengan 100.000 porsi nasi rames. Kalau tahun 2007 di Jakarta harga nasi rames Rp 10.000 dan dianggap bahwa harga rumah yang bagus di Kali Urang setara dengan 100.000 porsi nasi rames, maka harga tahun 2007 adalah Rp 1 milyar. Kira-kira itulah harga rumah yang bagus di daerah itu. Jadi kalau rata-rata 1 keluarga terdiri dari 2 orang tua dan 10 orang anak dan bisa makan foya-foya selama 40 hari, pasti penghasilannya setara Rp 9,60 juta lebih uang 2007 (setara 960 porsi nasi rames). Ayah dari mertua saya adalah guru bantu. Gajinya 40 gulden per bulan atau setara dengan 4.000 porsi nasi rames. Jumlah ini mempunyai daya beli setara dengan Rp 40 juta per bulan uang 2007 (di Jakarta, harga nasi rames Rp 10.000 per porsi di tahun 2007 dan naik menjadi antara Rp 15.000 - Rp 20.000 di tahun 2010). Dengan penghasilan seperti itu, di jaman Normal, seorang istri tidak perlu kerja.

Gaji pembantu waktu itu 75 sen per bulan atau setara dengan 75 porsi nasi rames. Berarti berdaya beli setara dengan Rp 750 ribu uang tahun 2007. Atau Rp 1,25 juta uang tahun 2010. Padahal gaji rata-rata pembantu rumah tangga di Jakarta tahun 2010 adalah Rp 600.000 per bulan. Jadi dibandingkan dengan jaman Normal, maka jaman Reformasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke II, pembantu rumah tangga mengalami penurunan kemakmuran sebesar 50%.

Kita bisa telusuri terus gaji-gaji berbagai profesi pada masa itu seperti dokter dan insinyur. Kesimpulannya bahwa daya beli waktu itu tinggi. Jadi tidak heran kalau jaman penjajahan dulu disebut jaman Normal (artinya jaman lainnya tidak normal).

Bagaimana bisa makmur? Jawabnya mungkin sederhana sekali. Kemungkinan ada tiga hal yang membuat daerah Hindia Belanda makmur dimasa itu. Pemerintahan Hindia Belanda tidak menggunakan uang fiat melainkan uang sejati yang didukung oleh logam mulia dan tidak bisa dicetak seenaknya. Yang kedua karena adanya Tanam Paksa (cultuurstelsel) yang kemudian diliberalisasi. Tanam Paksa mengarahkan petani menanam komoditi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, bukan asal tanaman saja. Liberalisasi memungkinkan masuknya swasta yang lebih mempunyai orientasi bisnis sehingga ekonomi menjadi lebih effisien. Dan yang ketiga adalah pemerintahan yang kecil sehingga tidak memerlukan biaya yang membebani pelaku ekonomi.

Dalam sistem moneter, penguasa keuangan dimasa itu adalah De Javasche Bank. Bank sentral Hindia Belanda ini adalah bank swasta yang baru berdiri tahun 1828 dan diberi hak monopoli mengeluarkan uang. Dan uang yang dikeluarkan adalah uang emas dan perak atau uang kertas yang bisa ditukarkan dengan logam mulia. Dengan kata lain, uang kertasnya didukung oleh logam mulia, asset riil. Dengan sistem uang sejati – uang yang emas dan perak atau yang didukung oleh cadangan logam mulia, inflasi selalu terkendali. Pemerintah tidak bisa seenaknya mencetak uang. Kestabilan harga bisa dijamin. Hanya mekanisme pasar antara permintaan dan penawaran saja yang bisa mengendalikan harga, bukan faktor moneter (pertambahan uang yang beredar). Baik itu harga bahan makanan, barang konsumsi sampai pada harga jasa dan upah kerja. Memang selama periode ini terkadang ada ganguan pada pasokan logam mulia semasa Perang Dunia I. Selebihnya semuanya berjalan normal.

Mengenai Cultuurstelsel sebenarnya bukan hal yang baru pada saat itu, karena Cultuurstelsel  merupakan perluasan dari Preangerstelsel (Sistem Priangan) di Jawa Barat yang diberlakukan sejak tahun 1677 atau 1,7 abad sebelum Tanam Paksa. Tanah Priangan di serahkan Amangkurat II dari Mataram kepada VOC pada saat Amangkurat II membuat persekutuan dengan VOC untuk menghadapi pemberontakan Trunojoyo.

Tentang Tanam Paksa, banyak sejarawan Indonesia mengecam sistem ini. Katanya kejam. Dan opini ini didukung oleh beberapa kalangan Belanda sendiri, seperti Eduard Douwes Dekker asisten residen Lebak, Banten yang kemudian menjadi seorang sastrawan penulis dengan nama samaran Multatuli. Bukunya yang terkenal berjudul Max Havelaar (1860), berupa novel satiris yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi dalam kaitannya dengan Tanam Paksa. Novel adalah novel yang fiksi. Baik sebagian atau seluruhnya. Walaupun tidak menutup peluang adanya novel yang didasari pada kejadian nyata dan diungkapkan dengan bahasa yang hiperbolik. Apapun hakekat yang sebenarnya dari Max Havelaar, novel ini bisa mempengaruhi sejarawan seakan merupakan sesuatu yang pernah terjadi. Tanam Paksa itu buruk.

Bahasa Belanda Tanam Paksa adalah cultuurstelsel atau dalam bahas Inggrisnya cultivation system. Jadi secara harfiah, cultuurstelsel berarti sistem kebijakan pertanian. Pemberian nama Tanam Paksa adalah untuk memberikan konotasi yang negatif terhadap kebijakan (atau ketidak-bijakan, tergantung konotasi yang mau diberikan) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Kenyataannya adalah bahwa, pemerintah Hindia Belanda mengharuskan petani penyewa tanah untuk menanami 20% dari tanahnya dengan komoditi yang sedang laku di Eropa, yaitu kopi, gula dan nila dan hasilnya diserahkan ke pemerintah sebagai uang sewa tanah dan penggunaan sistem irigasinya. Tanah yang dikuasai Hindia Belanda tidak diperoleh secara gratis, melainkan dengan biaya. Tanah konsesi Bagelen, Banyumas, dan Kedu misalnya, diperoleh sebagai pembayaran bantuan Belanda kepada Kraton Yogyakarta untuk mengalahkan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Dalam perang ini 200 ribu orang di pihak Jawa mati dan 15 ribu dari pihak Belanda mati serta menelan biaya 20 juta gulden dari pihak Belanda.

Sistem irigasipun diperluas untuk memastikan bahwa semua sawah dan tanah pertanian yang dicetak (baru dan lama) terpenuhi kebutuhan airnya. Masyarakat Jawa pada masa sebelum Tanam Paksa sudah mengenal sistem irigasi yang sederhana, menggunakan bambu untuk mengalirkan air sungai ke sawah-sawah. Pada masa Tanam Paksa ini Belanda membagun jaringan irigasi primer dan sekunder. Sistem irigasi ini dilengkapi juga dengan tatakelola airnya. Pemerintah Hindia Belanda mengetahui benar bahwa air sangat essensial bagi perkebunan tebu, nila dan sawah. Tanpa pengairan yang baik, cultuurstelsel, tidak akan berhasil.

Dengan demikian, bisa dikatakan angka 20%, dalam Tanam Paksa itu sebagai pajak penghasilan atau sewa tanah dan/atau pembayaran atas layanan irigasi yang diberikan oleh pemerintah. Saluran irigasi harus dirawat dan gaji para mantri (pegawai pengatur) air harus dibayar. Tidak ada yang gratis.

Angka 20% ini kecil dibandingkan pajak-pajak di jaman Republik Indonesia merdeka. Pajak penghasilan selama Orde Baru dan periode sesudahnya mencapai 30% - 35%. Ini tidak termasuk pajak pertambahan nilai, pajak penjualan, pajak jalan, pajak barang mewah dan sederet lagi. Dibandingkan dengan pajak penghasilan di masa Republik Indonesia merdeka yang bisa mencapai 35% pada jaman Orba. Tanam paksa lebih baik dan penjajah Belanda lebih bermurah hati dari pada politikus republik.

Kalau mau disebut konsesi penggunaan tanah atau pajak, setoran Tanam Paksa yang 20% ini juga kecil dibandingkan dengan porsi pemerintah republik dalam perjanjian kontrak produksi sharing (kontrak PSC, Production Sharing Company) dalam  bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak semasa periode Orde Baru dan periode sesudahnya. Dalam kontrak PSC, porsi pemerintah adalah 85% untuk produksi minyak dan 65% untuk produksi gas. Padahal dibandingkan dengan Tanam Paksa resiko gagal dalam eksplorasi jauh lebih besar dan itu ditanggung kontraktor penggarap. Menanam kopi, tebu dan nila resiko gagalnya kecil. Siapapun yang mengatakan beban yang harus dibayarkan kepada pemerintah (Hindia Belanda) sebesar 20% dari hasil panen sebagai beban yang berat, mereka ini harus melihat kontrak PSC dan pajak penghasilan di jaman Republik Indonesia semasa Orde Baru dan sesudahnya.

Pemerintah penjajahan Hindia Belanda memang kejam, menariki 20% dari hasil pertanian. Dan pemerintah Republik Indonesia lebih kejam lagi karena pajak yang ditariknya lebih tinggi. Itu adalah sifat pemerintah, birokrat dan politikus. Yang ada adalah kejam dan lebih kejam. Jadi kalau nenek-kakek kita dulu menyebut jaman Belanda ini sebagai jaman Normal, maksudnya, jaman republik jauh lebih tidak enak. Yang mereka tidak sadari ialah, bahwa kesengsaraan itu disebabkan oleh para politikus penggerak roda pemerintahan.

Cultuurstelsel mengalami masa sosialisasi selama 10 tahun sejak tahun 1830, baru kemudian bisa secara effektif berjalan. Tetapi sepuluh tahun kemudian, sekitar dekade 1850, sistem ini banyak dikritik karena terlalu banyak campur tangan pemerintah. Muncul keinginan untuk meliberalisasi sistem pertanian bahan-bahan komoditi. Liberalisasi baru dilakukan tahun 1870 dengan diberlakukannya undang-undang agraria yang baru Agrarische Wet. Swasta diperbolehkan masuk di sektor bisnis komoditi pertanian. Monopoli pemerintah dihapuskan dan peran swasta menjadi dominan. Perkebunan-perkebunan baru dibuka. Tanaman-tanaman komoditi baru diperkenalkan dan akhirnya perkebunan seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, nila, tebu dan tembakau bekembang. Perkebunan-perkebunan karet, teh, kelapa sawit milik pemerintah sekarang banyak berasal dari perkebunan-perkebunan Belanda di masa pasca Tanam Paksa.

Dengan beban pajak yang relatif ringan, mudah diduga bahwa ekonomi menjadi marak yang memungkinan infrastruktur bisa dibangun secara ekonomis. Sistem perkereta-apian dibangun dan mulai dioperasikan tahun 1864. Karena latar belakang pembangunan jaringan kereta api ini adalah kebutuhan ekonomi bukan karena kepentingan politik, maka peran swasta menjadi dominan. Mengikuti permintaan pasar, jaringan kereta api terus berkembang melewati masa boom ekonomi 1920an dan depresi 1930an. Dan hingga tahun 1939, panjang rel telah mencapai 6.811 km.[1]

Dilihat dari segi pemerintahannya, menurut penuturan orang-orang tua dulu, bahwa pada jaman Normal ini hanya ada 5 kementerian saja, yaitu:

  • Departement van Economische Zaken (Ekonomi)
  • Departement van Sociale Zaken (Sosial)
  • Departement van Verkeer en Waterstaat (Perkerjaan Umum)
  • Departement van Binnenlandsche Zaken (Dalam Negri)
  • Departement van Onderwijs en Eredienst (Pendidikan dan Budaya/Kepercayaan)
Tidak ada departemen Penerangan dan Informasi, tidak ada departemen Pertanian, Kehutanan, Perkebunan. Tidak ada kementerian urusan ibukota Jakarta, tidak ada departemen Pariwisata, Olah Raga dan Pemuda, dan departemen-departemen lain. Kecilnya birokrasi tidak hanya membuat budget pemerintah untuk membayar gaji pegawai dan menyediakan kantornya rendah, tetapi juga membuat rantai perijinan birokrasi menjadi pendek. Parlemennya juga kecil. Anggota Volksraad (Dewan Rakyat, parlemen) hanya 38 orang. Dibandingkan dengan anggota DPR – Dewan Perwakilan Rakyat (2009) adalah 560 orang ditambah dengan DPD – Dewan Perwakilan Daerah 132 orang. Dan kalau mau dihitung dengan DPR-D tingkat I dan II, total menjadi 15.987 orang. Tentu saja pembandingan ini tidak aci, karena dewan kota di jaman penjajahan Belanda juga harus dimasukkan. Sebagai perbandingan yang adil – jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1920 ke 2009 naik 4,2 kali lipat yaitu dari 54 juta jiwa (tahun 1920) menjadi 226 juta (tahun 2009). Sedangkan anggota parlemennya naik 18,2 kali lipat. Kementeriannya naik 7,5 kali lipat. Jangan heran kalau pajak penghasilannya naik 12 kali lipat. Ekspansi birokrasi pemerintahan republik lebih cepat daripada kenaikan populasi, oleh sebab itu beban oleh republik (jauh) lebih berat dari pada beban yang diberikan pemerintahan penjajahan Belanda (di jaman Normal) kepada rakyat. Pajak upah (penghasilan) di jaman Normal 3%.

Negara sekecil Belanda tidak mungkin menjajah dengan birokrasi besar. Kalau dibandingkan dengan pegawai negri republik tahun 2009 misalnya, untuk menjalankan republik Indonesia diperlukan 4,4 juta pegawai negri. Ini tidak termasuk calon pegawai negri yang biasanya memakan waktu yang cukup lama untuk menunggu sampai pengangkatan, serta pegawai tidak tetap yang tidak pernah bisa jadi pegawai negri. Dan pada saat yang sama (tahun 2009) populasi Belanda hanya 16,6 juta orang dengan jumlah laki-laki dewasa (25 – 60 tahun) sebanyak 4,2 juta. Kalau pada tahun 2009 harus memerintah Indonesia dan semua aparat birokrasinya dari Belanda, maka semua penduduk laki-laki Belanda dewasa (25 – 60 tahun) harus menjadi pegawai urusan negri jajahan. Ini dengan catatan bahwa pribumi tidak ada yang mau jadi antek-antek penjajah. Pengandaian ini mungkin terlalu berlebihan. Baiklah..., kalau hanya separo saja pegawai negri yang Belanda dan sisanya orang lokal, maka 50% dari laki-laki dewasa Belanda harus menjadi pegawai urusan negri jajahan. Ini masih terlalu bayak.

Kalau perandai-andaian ini ditarik ke jaman Normal dulu, maka  kesimpulannya akan sama, yaitu bahwa penduduk Belanda tidak akan bisa mengisi posisi birokrasi ala republik Indonesia yang seperti ini.

Periode ini, di Jawa diluar wilayah kesultanan Jawa, melahirkan pedagang-pedagang yang tangguh seperti Oei Tiong Ham raja gula Asia, Tasripin pengusaha dari Semarang, Nitisemito raja kretek dari Kudus. Usaha Oei Tiong Ham yang ada di Indonesia masih tersisa sampai setelah kemerdekaan dan dinasionalisasi ketika jaman Sukarno. Nitisemito yang agak eksentrik konon ceritanya menempeli dinding rumahnya dengan uang gulden perak. Masih banyak lagi pengusaha-pengusaha sukses dari Jawa yang kurang terkenal dan juga dari Sumatera seperti Sutan Lerang eksportir produk-produk lokal ke Singapura memiliki tanah sepertiga sampai setengah kota Padang, ahli warisnya (generasi ke 4) sampai sekarang masih bisa menjuali tanah warisannya secara bertahap.

Yang disebutkan di atas tidak termasuk raja-raja yang juga mempunyai industri. Seperti kraton Mangkunegara dengan pabrik gula Colo Madu dan Tasik Madu serta kraton Yogya dengan pabrik gula Grisikan nya.

Oleh kakek-nenek kita yang mengalami hidup dimasa ini, periode ini disebut jaman Normal mungkin karena pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mengikuti pertumbuhan ekonomi dunia dan pemerintah pusatnya yaitu Belanda. Pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mulai mengikuti pertumbuhan ekonomi dunia dan penjajahnya sekitar tahun 1880an. Sebelumnya selalu lebih lambat (Grafik VII - 2). Hal ini berakhir sampai masuknya Jepang ke Hindia Belanda tahun 1942. Ekonomi republik eks-Hindia Belanda terpuruk dan tumbuh kerdil dibandingkan pertumbuhan ekonomi dunia dan ekonomi mantan-penjajahnya.



Grafik VII - 2       Perbandingan pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda, Dunia dan Belanda dari tahun 1810 sampai 1970. GDP per kapita dalam (1990 $).

Kombinasi pajak yang relatif rendah pada periode jaman Normal ini, kebebasan pasar dan kebebasan berusaha serta penggunaan uang sejati (emas dan perak) yang membuat inflasi (pencetakan uang) yang terkendali, membuat ekonomi Hindia Belanda bisa tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dunia. Layaklah sekiranya kakek-nenek kita menyebut masa ini sebagai jaman Normal. Walaupun mereka tidak tahu mengenai ekonomi, tetapi mereka bisa merasakannya. Nenek saya yang hanya bisa baca-tulis dalam Arab-Melayu (Arab gundul) dan membaca huruf latin, berprofesi sebagai penyewa tanah pemerintah, yang dikelolanya sebagai sawah padi. Sedang kakek saya bekerja sebagai guru. Dari profesinya, mereka bisa memiliki dua buah rumah di Semarang dan tabungan yang cukup. Sayangnya tabungannya habis dicuri maling ketika masa revolusi kemerdekaan.

Sebagai pembanding antara jaman Normal dan jaman Indonesia merdeka, anak-anak dari kakek-nenek saya rata-rata sarjana; ada yang dokter, sarjana hukum, doktorandus, tidak ada seorangpun yang bisa memiliki rumah dua seperti orang tua mereka yang pendidikannya rendah. Bahkan ada salah satu anaknya dari 12 anaknya yang tidak mampu membeli rumah. Rumah bisa diperolehnya karena memperoleh uang pesangon penggusuran (uang pindah). Saya tidak tahu secara pasti apakah kehidupan kakek dan nenek saya cermin masyarakan dimasa itu atau tidak. Tetapi itulah hakekat arti Normal dan merdeka menurut kakek dan nenek saya. Sebuah opini yang subjektif.

Jaman Normal tidak selamanya makmur dan ekonomi bisa tumbuh berkesinambungan. Pada masa depressi dunia tahun 1930an, Hindia Belanda juga terkena imbasnya. Ekonomi mengalami kontraksi. Di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, kepercayaan rakyat, terutama kelas menengah dan kelas atas, terhadap uang kertas gulden menyurut. Uang perak secara perlahan hilang dari peredaran, masuk ke dalam celengan dan lemari besi orang-orang berduit atau dipendam di dalam tanah. Ketika Jepang masuk, mereka juga memintai uang-uang perak yang ada dan ditukar dengan rupiah pendudukan Jepang yang terbuat dari kertas. Ada penduduk yang menyerahkannya dan banyak yang tetap memendamnya di dalam tanah. Orang-orang yang memutuskan untuk membangkang dan tetap memendam uang-uang peraknya di dalam tanah, terbukti dikemudian hari sebagai orang yang beruntung. Kata beruntung tidaklah terlalu tepat. Yang tepat adalah: “tidak dirugikan”. Uang perak dan emasnya tidak beranak, tetapi juga tidak berkurang nilai riilnya.


[1] Proyek Efisiensi Perkeretaapian, Siti Khoirun Nikmah & Valentina Sri Wijiyati, International NGO Forum on Indonesian Development, Working Paper No.1, 2008




Disclaimer:

Dongeng ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.

Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

1 comment:

Anonymous said...

halo bro IS,
komentar nih - inflasi selain karena money printing juga disebabkan supply - demand yang tidak seimbang
jumlah manusia jaman dulu kan masih sedikit banget