___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Sunday, March 20, 2011

(No.12) - PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA

Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21




(Terbit, insya Allah setiap Minggu dan Kamis)



Sistem Piramida

Banyak bentuk penipuan skema piramid, seperti surat berantai, bahkan multi-level marketing (MLM), dan semua ini bisa dikategorikan skema piramid. Memang ada perbedaan yang sangat tipis antara surat berantai dengan MLM, tetapi pada dasarnya keduanya adalah skema piramid. Bedanya, MLM punya produk riil yang dijual sedangkan surat berantai tidak.

Sistem piramida adalah suatu model pengelabuhan yang mengandalkan pemasukkan dari anggota yang baru (sering disebut down-lines) untuk menunjang keuntungan anggota yang lama (up-lines). Model bisnis yang ditawarkan biasanya sangat sederhana, mudah dimengerti. Untuk menyakinkan bahwa bisnis ini adalah bisnis yang canggih (kecanggihan bisa digunakan sebagai daya tarik) maka dalam hal perhitungan keuntungan dipakai formula yang nampak canggih tetapi mudah dimengerti. Yang paling sederhana dan tidak ada unsur canggih di dalamnya adalah surat berantai. Misalnya seorang prospek (calon peserta), diwajibkan membayar uang keanggotaan sebesar Rp 10.000 dan dia diwajibkan untuk merekrut 10 orang sebagai down-linenya. Para down-line ini juga diwajibkan untuk membayar uang keanggotaan yang sama besarnya. Dengan uang keanggotaan dari down-line ini, para up-line dibayar. Kelangsungan sistem ini sangat bergantung pada masuknya anggota-anggota baru, yang kebutuhannya semakin membengkak. Akhirnya sistem ini ambruk karena pertambahan keanggotaannya tidak cukup cepat lagi untuk mencukupi dan menunjang pembayaran para up-line.

Tentu saja cara ini kasar. Orang akan berpikir, kenapa harus membayar dulu uang keanggotaan, untuk bisa merekrut down-line. Kenapa tidak mendirikan sendiri sistem ini dan langsung merekrut down-line 10 orang dan mengantongi Rp 100.000 dari 10 downline ini?

Sistem piramida ini bisa dikenakan delik penipuan. Untuk menghindari ini, produk riil dimasukkan ke dalam model bisnis.

Karena down-line selalu dirugikan, untuk bisa bertahan, maka organisasi pengelolanya menyenggarakan pertemuan-pertemuan bisnis. Pertemuan-pertemuan bisnis ini adalah ajang pidato, kampanye oleh orator yang karismatik. Dan disana para down-line dicuci otaknya untuk menjadi fanatik terhadap produk-produk yang dijual. Misalnya salah satu MLM yang terkenal dan yang mempromosikan barang konsumsi rumah tangga, menjejali otak para down-linenya dengan image yang tinggi tentang sabun cuci piringnya untuk menunjang alasan bagi harganya yang 2 kali lebih mahal dari produk yang sama di pasaran. Kalau dilihat komponen utamanya adalah Sodium Lauryl Sulfate, sama seperti sabun cuci cair merek lainnya.


Charles Ponzi

Nama sistem piramida diindentikkan dengan nama Ponzi, karena sistem piramida sering disebut skema Ponzi. Mungkin karena Charles Ponzi (1882 – 1949) adalah orang pertama yang paling berhasil menggunakan cara ini untuk menipu dan mendapat sorotan masyarakat. Ia bukan hanya menipu dalam jumlah yang besar, tetapi juga mendapat sorotan. Kejadiannya di sekitar tahun 1920.

Charles Ponzi bukan yang penipu yang melibatkan dana yang terbesar dalam sejarah. Ponzi dimasa itu hanya berhasil menyeret dana sebesar $ 7 juta (kira-kira senilai 10 ton emas). Jumlah itu tidak lah banyak kalau dibandingkan dengan kasus Bernie Madoff. Bernie Madoff tahun 2008 terbongkar kasusnya bahwa dia berhasil menilep $50 milyar (kira-kira senilai 1.720 ton emas). Yang digelapkan Madoff nilai riilnya 172 kali lebih besar dari Ponzi. Ini membuat Charles Ponzi seperti amatir. Walaupun demikian, sistem piramida tetap disebut dan mempunyai nama alias sebagai skema Ponzi, dan bukan skema Madoff. Dalam membandingkan antara Madoff dan Ponzi, kita harus mengukurnya dengan emas bukan dengan dollar, karena emas adalah uang sejati, sedang dollar adalah uang kertas, uang ciptaan dan hasil manipulasi politikus yang nilainya tergerus dengan masa. Kalau diukur dengan uang dollar Amerika Serikat maka Madoff lebih besar 7000 kali dari Ponzi. Tetapi Ponzi lah yang mendapat nama. Yang besar belum tentu yang memperoleh nama.

Ponzi adalah imigran dari Italia yang datang ke Boston US, di tahun 1903. Menurut cerita, dia seorang penjudi dan selama dalam pelayaran uangnya dihabiskan di meja judi. Walaupun kantongnya kosong, tetapi kepalanya penuh dengan sejuta harapan.

Ponzi nampaknya punya kepribadian yang menarik dan mampu menyakinkan orang. Kalau diibaratkan seorang pedagang, dia adalah pedagang yang mampu menjual lemari es kepada seorang eskimo di Alaska, atau seorang yang mampu menjual tahi ayam seharga permen coklat. Karakter inilah yang menguntungkan baginya untuk menjadi penipu.

Perlu di catat bahwa dalam bahasa Inggris, penipu disebut con-man, kadang con-artist singkatan dari confident-man atau confident-artist. Artinya orang yang sangat yakin dan sangat menyakinkan.

Ilmu tipu-menipunya mungkin dipelajarinya ketika dia bekerja di sebuah bank bernama Banco Zarossi. Bank ini memberikan bunga dua kali lipat dari bunga bank umumnya di saat itu. Nasabahnya tumbuh dengan cepat dan Banco Zarossi bisa mengumpulkan dana yang cukup besar dalam waktu yang singkat. Banco Zarossi sebenarnya mengalami kesulitan bisnis. Kredit real-estatenya banyak yang macet. Ponzi melihat bahwa pembayaran bunga kepada nasabah digunakan uang dari nasabah-nasabah yang baru. Akhirnya bank ini runtuh dan mengalami kesulitan untuk membayar uang nasabah berserta bunganya. Dan kemudian Zarossi, pemilik bank, lari ke Mexico dengan membawa lari uang nasabah.

Ponzi melihat bahwa:

1. Orang tidak berpikir panjang ketika melihat potensi keuntungan yang besar atau ditawari keuntungan yang besar. Lebih-lebih kalau sudah ada contohnya. Bisnis proposal yang ditawarkan harus menarik dan mudah dimengerti, walaupun tidak masuk akal.

2. Sekali namanya dikenal, maka orang dengan sendirinya akan berbondong-bondong datang menyerahkan uangnya. Bahkan orang (calon korbannya) akan menanamkan lagi ‘keuntungan’ yang diterimanya, sehingga pengumpulan uang mengalami percepatan.

3. Pada suatu fase, terjadi mania dimana herd mentality, mentalitas ikut arus, kuat. Ketika itu banyak orang ikut terjun kedalam bisnis yang sedang digilai (dalam hal ini menginvestasikan uangnya ke Banco Zarossi) maka semakin banyak orang lainnya yang ikut latah, tanpa banyak berpikir.

Tetapi yang luput dari pengamatan Ponzi ialah bahwa sekali timbul ketidak-percayaan, maka akan terjadi penarikan uang nasabah secara besar-besaran dan akan membongkar kejahatannya. Inipun bisa dikategorikan herd mentality, mentalitas ikut arus.

Setelah kejadian Banco Zarossi, Ponzi sempat keluar masuk penjara karena melakukan tindak kriminal. Di dalam penjara dia rupanya memperoleh pengalaman lebih banyak dan wawasan yang lebih luas.

Suatu hari, menjelang tahun 1920, Ponzi mempunyai ide bisnis untuk memperoleh uang secara mudah. Bisnisnya berkaitan dengan apa yang dinamakan International Reply Coupon (IRC). IRC ini digunakan di dalam surat menyurat internasional sebagai pengganti prangko untuk pengiriman surat balasan. Misalnya si A di sebuah negara mengirim surat kepada B (biasanya perusahaan atau badan lainnya) di negara lain untuk meminta sesuatu (misalnya katalog atau formulir pendaftaran). B mensyaratkan setiap permintaan barang ini harus disertai IRC. IRC ini bisa ditukarkan dengan prangko untuk mengirimkan barang-barang yang diminta kliennya dengan pos. Maksudnya agar B tidak terbebani biaya prangko karena A sudah menyediakannya dalam bentuk IRC. IRC ini juga bisa diuangkan.

Pada masa setelah Perang Dunia II inflasi di Eropa cukup tinggi sehingga terjadi perbedaan biaya pengiriman lewat pos antara pengiriman dari Amerika Serikat ke Eropa dengan dari Eropa ke US. Akibatnya IRC yang dijual di Italia, atau di Eropa harganya lebih rendah dibandingkan dengan di US. Ide Ponzi ialah membeli IRC dari Italia, kemudian diuangkan di US. Ide yang cemerlang. Bisnis ini 100% legal. Dan potensi keuntungannya bisa ratusan persen.

Dia meminjam uang ke bank untuk memulai bisnis ini. Kemudian mengirimkannya kepada sanak keluarganya di Italia untuk dibelikan IRC. Dia juga menawarkan proposal kepada kenalannya untuk menambah modalnya. Mula-mula melalui selebaran-selebaran dia menawarkan 40% keuntungan untuk investasi selama 90 hari dalam proposalnya[1]. Pada bulan Januari 1920 ia menaikkan iming-imingannya itu menjadi sebesar 100% dalam waktu 90 hari[2]. Dibandingkan dengan bunga bank yang hanya sekitar 5%, tentu saja iming-imingan Ponzi sangat menarik.

Selanjutnya Ponzi dengan perusahaannya “Old Colony Foreign Exchange Company"[3], (ada yang menyebutnya Security Exchange Company[4]) menggalang dana dengan menggunakan agen-agen yang diberi komisi yang tinggi. Dalam waktu 4 bulan yaitu dari bulan February 1920 sampai bulan Mei 1920, dia bisa mengumpulkan $420.000 (setara dengan 620 kg emas). Histeria terbentuk bentuk setelah harian the Boston Post menerbitkan artikel yang isinya bernada positif terhadap bisnis Ponzi ini. Dan orang-orang berbondong-bondong menyerahkan uangnya untuk diinvestasikan ke bisnis IRC.

Sayangnya di Amerika Serikat Ponzi mengalami kesulitan untuk menguangkan IRC yang dibelinya dari Italia. Terlalu banyak birokrasi dan berliku-liku administrasi administrasi yang harus dilewati. Secara praktis bisnis Ponzi tidak menghasilkan keuntungan yang riil. Tetapi ini tidak membuat dia berhenti. Belajar dari pengalamannya di Banco Zarossi, Ponzi membayar bunga keuntungan nasabah lamanya dengan uang nasabah yang baru ikut serta. Karena pertambahan jumlah investor mengalami percepatan, dana baru yang masuk bisa menutup pembayaran bunga maka semuanya berjalan lancar. Lagi pula kebanyakan dari investor Ponzi tidak mengambil bunga dari investasinya, melainkan ditanam kembali. Sehingga hal ini mempermudah Ponzi. Ponzi bisa berfoya-foya dengan uang investornya.

Ponzi menanamkan uangnya ke sebuah bank, Hanover Trust Bank. Dengan uangnya itu saham majoritas dikuasai Ponzi. Bunga yang diperoleh Ponzi sekitar 5%. Bunga yang 5% inilah yang merupakan keuntungan riil dari Security Exchange Company.

Walaupun semuanya lancar, ada juga orang yang skeptis. Di bulan Juli 1920 harian the Boston Post menurunkan sebuah artikel yang ditulis oleh seorang analis keuangan Clarence Barron. Isinya sebuah analisa yang menunjukkan bahwa pola bisnis Ponzi dengan Security Exchange Companynya secara finansial tidak mungkin menguntungkan. Jumlah IRC yang beredar terlalu sedikit untuk membuat keuntungan yang Ponzi tawarkan. Ditinjau dari besarnya modal dan keuntungan yang ditawarkan, bisnis Ponzi memerlukan 160 juta IRC, sedangkan IRC yang beredar hanya 27.000 lembar. Jadi tidak ada ketidak-cocokan antara volume IRC dengan keuntungan yang diperlukan untuk memenuhi janji Ponzi.

Segera, beberapa investor menarik dananya dari Security Exchange Company. Dan mereka mendapatkan cek bank Hanover Trust Bank yang dikuasai Ponzi dan cek itu bisa dicairkan. Awalnya dana yang ditarik itu mencapai US$ 2 juta. Tetapi kelanjutan penarikan dana secara besar-besaran bisa dihindari karena Ponzi bisa menyakinkan nasabahnya bahwa artikel di the Boston Post itu salah. Ponzi bisa lolos, bahkan pemasukkannya pun bertambah.

Selanjutnya Ponzi mempekerjakan seorang untuk menangani hubungan masyarakat, PR (Public Relation), bernama William McMasters. Tidak lama bekerja untuk Ponzi, McMasters curiga mengenai banyak hal tentang bisnis Security Exchange Companynya Ponzi. Pertanyaan dibenaknya ialah: “Kenapa Ponzi masih menanamkan uangnya di bank dengan bunga 5%, padahal dengan bisnis IRC bisa memperoleh 100% dalam 90 hari?” McMasters akhirnya mengundurkan diri. Tidak lama kemudian, tanggal 2 Agustus 1920, di harian the Boston Post keluar sebuat artikel yang berisi kecurigaan William McMasters. Pertanyaan itu kembali muncul, kenapa Ponzi masih mau mendepositokan uangnya di bank dengan bunga 5%, padahal bisnisnya bisa menghasilkan puluhan kali lipat. Dikatannya bahwa sebenarnya asset Security Exchange Company bukan US$ 7 juta, melainkan minus (hutang) US$ 2 juta sampai US$ 4,5 juta. Artinya perusahaan Ponzi sudah pailit. Penarikan dana besar-besaran kembali melanda Security Exchange Company.

Pada masa penarikan dana besar-besaran ini komisi bank Massachusetts, memerintahkan agar rekening Ponzi di Hanover Trust Bank diawasi. Nasabah Ponzi terus menerus menguangkan cek yang berasal dari Ponzi. Ketika dana di rekening ini sudah habis, maka semua penarikan dana dari rekening itu distop. Di akhir babak ini, dua bank lain di Boston ikut tersungkur karena hutang Ponzi yang tidak bisa dibayar. Atas perintah dari komisi perbankan Massachussets, Security Exchange Company nya Ponzi diaudit. Dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai asset perusahaan ini hanyalah hutang paling sedikit US$ 7 juta.

Catatan: The Boston Post akhirnya mendapat hadiah Pulitzer tahun 1921 untuk laporan yang bersifat penyelidikan dalam kasus Ponzi.

Ponzi dihukum penjara 5 tahun atas tuduhan “penipuan melalui surat” oleh pengadilan federal pada bulan November 1920. Ketika bebas 3,5 tahun kemudian, ia dituntut lagi oleh pengadilan negara bagian Massachusetts dengan tuduhan “mengambil alih milik orang lain secara tidak syah”. Pada hakekatnya tuduhan ke-2 ini adalah untuk perbuatan yang sama. Namun nampaknya ada yang masih belum puas. Pengadilan untuk tuntutan “mengambil alih milik orang lain secara tidak syah”ini dilakukan sampai 3 kali. Baru yang ke-3 Ponzi berhasil dibuktikan bersalah hukumannya ditambah menjadi 9 tahun penjara. Ponzi keluar dari penjara dengan jaminan. Dan sekeluarnya dari penjara dia berusaha membuat penipuan dengan teknik yang sama di Florida. Tetapi kemudian ditangkap dan jatuhi hukuman 1 tahun penjara lagi di Florida. Dia bebas dengan jaminan. Kebebasan ini digunakan untuk melarikan diri keluar dari Amerika Serikat. Tetapi ia keburu tertangkap, di saat yang ditumpanginya kapalnya hendak berangkat. Setelah itu ia dikirim ke Massachusetts untuk menjalani sisa hukumannya disana. Setelah selesai menjalani hukuman penjaranya di tahun 1934, ia dideportasikan kembali ke Italia. Ponzi mati sebagai orang miskin di Rio de Janeiro, Brazil, pada bulan Januari 1949.

Banyak yang bisa dijadikan hikmah dari kasus Ponzi. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang menyelimuti bisnis ala Ponzi. Tetapi untuk mengetahuinya memerlukan karakter skeptis dan juga harus jeli. Misalnya jumlah IRC yang beredar, jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah IRC yang diperlukan agar bisnis IRC Ponzi bisa untung seperti yang diakuinya. Kemudian, kalau memang bisnis IRC bisa menghasilkan berkali-kali lipat dari bunga bank, kenapa Ponzi masih menanamkan uangnya ke bank yang bunganya hanya 5%? Itu suatu pertanyaan yang sahih. Walaupun sebenarnya banyak kejanggalan yang nyata-nyata membuktikan bahwa bisnis IRC Ponzi tidak mungkin untung, artinya Ponzi hanya menipu, toh masih banyak saja orang yang percaya. Akibatnya mereka dengan mudah jadi korbannya. Kenapa para korbannya bisa terperosok? Tidak lain karena mereka tidak skeptis dan tidak mau berpikir yang sedikit rumit, sedikit saja.

Dari proses pengadilan penipuan Ponzi yang berkali-kali, nampak jelas bahwa tindak kriminal penipuan sulit dijerat. Tuduhannya “penipuan melalui surat” atau mail-fraud dan mengambil alih milik orang lain secara tidak syah”, seakan tidak ada pasal umum mengenai penipuan. Banyak negara berusaha memperbaiki undang-undang pidananya. Ketika kasus Madoff mencuat tahun 2008, ia dituntut dengan berbagai pasal seperti securities fraud, investment advisor fraud, mail fraud, wire fraud, pencucian uang, pemalsuan laporan keuangan, mengisi secara salah laporan kepada badan pengawas bursa, pencurian dana pensiun. Walaupun penegak hukum membuat hukum semakin rumit, para penipu juga tidak kalah pandainya. Para penipu pada masa-masa berikutnya belajar dari kasus Ponzi. Dari pembelajaran ini muncul variasi-variasi pengelabuhan yang bisa lolos dari persyaratan pasal-pasal penipuan. Variasi ini biasanya dengan ikut sertakan barang riil atau jasa riil dalam skema penipuan. Ini akan diceritakan pada bagian berikutnya.


Bisnis Fermentasi Susu

Sekitar awal tahun 1992, sebagian penduduk Jakarta yang punya uang dihebohkan dengan bisnis fermentasi susu yang “katanya” digunakan sebagai salah satu bahan dasar kosmetik. Kalau dilihat dari bentuknya, susu fermentasi yang “katanya” digunakan untuk kosmetik itu, tidak lain adalah yogurt atau susu masam, tetapi pada saat itu tidak ada peserta bisnis ini yang kreatif untuk menyelidiki apa sebenarnya susu fermentasi itu. Agen pusatnya, atau sebut saja bandarnya dipimpin oleh tiga orang bule, satu adalah warga Australia dan dua orang adalah warga Amerika Serikat. Mereka berkantor di daerah Mampang, Jakarta. Mereka menjual bahan-bahan yang diperlukan bagi para peserta bisnis dan juga menampung produk yang dihasilkan mereka. Agen ini merekrut banyak staff penjualan yang aggresif karena dibayar dengan komisi yang cukup tinggi.

Bisnis ini sangat menggiurkan karena bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat dan dengan cara yang mudah. Disamping itu juga nampak seperti bisnis sungguhan, artinya melibatkan barang yang riil seperti susu dan hasil fermentasinya; juga kerja sungguhan yaitu memproses susu menjadi produk akhir yang bisa dijual ke agen penampungnya, bandarnya. Jadi ini bukan sekedar bisnis investasi atau penyertaan modal saja, tetapi juga mengandung unsur-unsur memeras keringat.

Model bisnisnya adalah sebagai berikut:

  • Calon peserta diwajibkan membeli starter, yang tidak lain adalah kultur bakteri yang digunakan untuk fermentasi susu, dengan harga Rp 1 juta per pak dari agen.
  • Dengan starter itu, kemudian, peserta memfermentasi susu. Satu pak starter digunakan untuk memproses 5 liter susu.
  • Proses fermentasi ini memakan waktu selama 1 minggu. Setelah itu hasilnya bisa dijual kepada agen penampung yang juga menjual starter, dengan harga Rp 2 juta.

Banyak orang bisa turut serta karena modal dan tempat yang diperlukan tidak banyak. Cukup ember-ember yang berpenutup.

Dari perhitungan untung-rugi, bisnis ini sangat menggiurkan karena dengan modal Rp 1 juta. untuk starter dan Rp 5000 untuk susu, dalam 1 minggu bisa menghasilkan Rp 2 juta atau untung sedikit kurang dari Rp 1 juta. Dengan kata lain, tingkat pengembalian modalnya adalah hampir 100% dalam seminggu.

Tetapi nanti dulu. Ada persyaratan lainnya, yaitu bahwa pembelian hasil fermentasi kembali tidak dilakukan secara tunai, melainkan cicilan sebanyak 10 kali dan masing-masing cicilan besarnya Rp 200.000 setiap minggu. Jadi tingkat keuntungannya bukan 100% dalam seminggu, melainkan 100% dalam 2,5 bulan. Tingkat keuntungan seperti ini tentu saja masih tetap menggiurkan. Disini lah sebenarnya letak perangkapnya dipasang.

Bagi orang yang skeptis, bisnis ini sepatutnya cukup mencurigakan. Tetapi semua korban yang membenamkan uangnya di bisnis ini adalah orang-orang naif yang sudah dibutakan oleh impian keuntungan yang melimpah. Mereka ini tidak pernah bertanya: “Kenapa, sang agen alias sang bandar tidak tertarik untuk memproses susu itu sendiri, padahal tingkat pengembalian modalnya tinggi?” Itu adalah pertanyaan yang paling sederhana dan mendasar yang seharusnya dimiliki setiap orang yang mau menerjunkan diri ke sebuah bisnis semacam itu.

Iming-imingan dan impian memperoleh uang secara cepat membuat banyak calon investor tidak berpikir panjang dan mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Pola pikir manusia yang secara umum menyukai kesederhanaan, sampai-sampai banyak hal yang janggal bisa terlewatkan dari pemikirannya. Yang paling menggiurkan ialah banyak dari peserta bisnis fermentasi susu ini berpikir bahwa tingkat keuntungannya adalah 100% per minggu bukan per 2,5 bulan. Dasar pemikiran ini agak rancu. Argumen (yang rancu itu) bahwa hasil fermantasi itu sudah terjual dalam 1 minggu sejak dibuat. Banyak dari investor berpikir bahwa sementara cicilan dari penjualan hasil fermentasi belum dilunasi bandar, investor bisa memproses susu yang baru supaya ada kesinambungan kegiatan kerja, yang artinya membenamkan lagi modal barunya, sehingga semakin banyak uangnya yang terbenam ke dalam kas bandar.

Sebenarnya secara mikrobiologi, investor hanya perlu membeli starter sekali saja. Susu masam yang dihasilkannya bisa dijadikan starter. Susu masam hasil fermentasi juga mengandung bakteri yang diperlukan untuk proses fermentasi. Ini adalah logika yang sederhana. Hal ini saya kemukakan kepada teman-teman yang menceburkan diri ke dalam hingar-bingar mania susu fermentasi ini. Tetapi tidak ada satupun yang mau mencobanya. Kalau bisa beli, kenapa kok harus repot-repot. Mereka juga takut kalau hasil eksperimennya ditolak karena kwalitasnya berbeda. Suatu ketakutan yang tidak ada dasarnya, karena pada saat menjual, tidak ada kontrol kwalitas dan test kwalitas.

Dalam waktu singkat, bisnis ini menarik banyak orang dan berkembang dengan pesat. Pengikut dan uang yang terlibat semakin membengkak. Salah satu investornya adalah seorang pedagang emas dari etnis Madura. Modal usaha toko emasnya dibenamkan ke dalam bisnis susu fermentasi ini. Banyak orang-orang yang saya kenal membenamkan uang tabungan pensiunnya. Tidak hanya itu, ketamakan juga membuat peserta menginvestasikan kembali semuanya “keuntungannya”. Praktis, para investor tidak pernah menikmati keuntungan yang diperolehnya.

Kira-kira pada bulan Agustus 1992, ketika orang-orang datang untuk menjual susu olahannya dan mengambil uang cicilannya, mereka menjumpai kantor bandar penampungan susu olahan ini tutup. Di gudang kantor ini bertumpuk susu hasil olahan fermentasi. Ternyata setelah diselidiki lebih lanjut jajaran personal inti dari bandar yang berjumlah 3 orang bule itu sudah kabur dengan membawa keuntungan puluhan milyar rupiah.

Cara penipuan ini bisa digolongkan pada variasi cara penipuan sistem piramid. Polanya sama seperti yang dilakukan Ponzi. Bisnisnya nampak riil, menggiurkan, dan mudah dicerna orang awam. Tingkat pengembalian modalnya yang tinggi. Dan melibatkan pemasar yang aggressif yang dibayar dengan komisi yang tinggi. Kejanggalannya ialah harga starternya yang relatif tinggi (Rp 1 juta rupiah waktu itu setara dengan 44 gr emas) dan hasil fermentasi dibeli kembali dengan cara cicilan. Artinya uang nasabah harus mengendap lebih lama di brankas bandar. Disinilah pintu jebakannya. Dari perhitungan sederhana, awalnya bandar alias penyedia starter harus membayar pembelian susu hasil fermentasi dari koceknya sendiri. Karena pembelian kembali susu-masam ini dicicil selama 2,5 bulan, maka bagi bandar pembayaran itu tidak terlalu berat. Ada peluang untuk memperoleh nasabah baru. Setelah pesertanya meningkat secara eksponensial, maka pembelian susu yang sudah diproses bisa menggunakan uang pemasukkan dari penjualan starter. Bahkan pemasukan dari penjualan starter ini selalu melampaui kebutuhan untuk membeli kembali (secara mencicil) susu yang sudah diproses.

Laju peningkatan peserta yang eksponensial tidak akan pernah bisa dipertahankan karena jumlah orang yang mau menjadi peserta dan punya uang terbatas. Ketika sudah ada penampakan bahwa laju pertambahan peserta seperti ini tidak bisa lagi dipertahankan, bandar memutuskan untuk hengkang. Tinggal lah para investor menggigit jari dengan berdrum-drum susu yang sudah dan sedang diproses yang nilainya milyaran rupiah. Banyak orang yang saya kenal dan kolega yang terjun ke dalam mania susu fermentasi ini menghabiskan simpanan untuk pensiunnya. Seorang rekan ahli geologi menghabiskan Rp 18 juta (ekivalen dengan 0.8 kg emas), seorang juru gambar menghabiskan Rp 10 juta (ekivalen dengan 0.44 kg emas). Seorang juru gambar lainnya, yang menjadi pemasar, juga kehilangan Rp 10 juta di samping kehilangan pekerjaannya, karena ia harus lari dari kejaran rekan sekerjanya yang menuntut pengembalian uang mereka. Dan pedagang emas yang disebutkan di atas, entah berapa kerugiannya.

Kasus bisnis fermentasi susu ini bisa dikategorikan sebagai penipuan atau penggelapan uang. Pada saat bandar melarikan diri dengan membawa uang nasabah yang harus diserahkan secara mencicil, artinya bandar sudah melakukan penggelapan dan bisa dituntut secara pidana. Sayangnya mereka sudah kabur keluar dari Indonesia.

Bagi korbannya, seharusnya mereka bisa mencium hal-hal yang mencurigakan dari sejak awal. Mereka seharusnya bertanya dalam diri mereka sendiri: dengan proses demikian mudahnya dan modal yang tidak besar, tingkat pengembalian modal yang hampir 100% dalam 1 minggu, kenapa bandar tidak melakukan fermentasi itu sendiri? Kemudian, kenapa ketika membeli hasil fermentasi, bandar mencicil sampai 10 kali dalam 2,5 bulan? Ini seakan uang para nasabah/investor disandera. Sebelum uang pembelian hasil fermentasi berada di tangan investor, yang diberikan oleh bandar kepada investor hanyalah janji untuk membayar. Janji itu lah yang dipegang oleh para nasabah. Dan janji itu bisa tidak ditepati. Dan hal itu terjadi ketika uang nasabah sudah cukup banyak untuk dilarikan.

Kasus fermentasi susu ini mengingatkan perkataan seorang pengarang bernama Ken Kesey:

"The secret of being a top-notch con-man is being able to know what the mark wants, and how to make him think he's getting it."


“Rahasia untuk bisa menjadi penipu ulung adalah mengetahui apa yang diinginkan calon korbannya dan mengetahui bagaimana caranya meyakinkan calon korbannya bahwa mereka akan memperoleh yang diiginkannya.”

Bandar susu fermentasi berhasil menerapkan prinsip ini secara cantik dan baik sekali.


(Bersambung...................)


[1] The Nature and History of Ponzi Schemes, San Jose State Univ., Faculty of Economic (http://www.sjsu.edu/faculty/watkins/ponzi.htm)

[2] Charles Ponzi, Wikipedia online Encyclopedia http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Ponzi

[3] ibid

[4] The Nature and History of Ponzi Schemes, San Jose State Univ., Faculty of Economic (http://www.sjsu.edu/faculty/watkins/ponzi.htm)


Disclaimer:
Dongeng ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi adalah yang sebaliknya.

Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

2 comments:

boejanglapoek said...

enak baca nya, pelajaran di pagi hari..

takut tertipu said...

bagaimana dengan yg ini... apakah persamaan ?

http://goldentradersinternational.com/

ini salah satu jualannya

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3792445

apakah suatu saat investani ini bisa ambruk..? mohon tanggapannya om SEMAR....terima kasih.