___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Thursday, December 27, 2007

RENUNGAN POLITIK DI AKHIR 2007:

KELAS WESIA DAN KSATRIA
Orang bertanya, kenapa ada kata orang waras diambil untuk nama situs ini? Jawabnya singkat saja.

Seorang waras dan waspada adalah orang yang objektif. Dia hanya melihat kenyataan. Ketika dia menuangkan hasil pengamatannya, bumbu dan corak warna yang diberikan pada pemikirannya disesuaikan dengan realitas itu sendiri, sehingga tidak terjadi konflik. Informasi bisa seperti cerita fiksi Superman atau bisa seperti isi buku fisika. Cerita fiksi Superman memang enak dibaca, tetapi hanya untuk dibaca saja, bukan untuk dianalisa dan dicocokan dengan realitas. Orang tidak pernah melakukan check realitas tentang kemampuan terbang Superman. Apa yang mendasari kemampuan terbang Superman, gaya Archimedes (gaya apung) atau tenaga propulsi seperti pesawat terbang? Kalau gaya Archimedes yang membuat Superman mengapung/terbang, maka berat Superman harus ringan sekali dan berat jenisnya lebih kecil dari berat jenis udara. Pertanyaan berikutnya akan muncul ketika melihat Superman in action mengangkat bus, pesawat terbang: apakah berat jenis rata-rata besi (bus atau pesawat) plus Superman lebih ringan dari udara? Andaikata Superman menggunakan sistem propulsi untuk terbang, dimana letaknya baling-baling atau sistem jet nya? Makan apa dia untuk energi terbang?

Memang cerita Superman adalah cerita fiksi. Yang mau saya tekankan ialah bahwa cerita fiksi ini berbenturan dengan ilmu alam yang selalu menjadi landasan pemikiran orang waras dalam menelaah suatu informasi. Orang waras mendasari kesimpulannya atas dasar fakta dan realitas, bukan atas dasar nafsu, emosi dan semangat isme yang dianutnya. Tulisan kali ini akan menyajikan suatu topik dengan tujuan mengasah kembali objektifitas kita sebagai orang yang rasionil.

Sistem kasta adalah penggolongan masyarakat berdasarkan profesinya. Brahmana adalah kelas terpelajar (ulama = orang yang berilmu) dan ahli agama. Wesia adalah kelas pekerja. Ksatria adalah kelas birokrat dan politikus. Dan sudra adalah kelas terbuang. Untuk kelas brahmana dan wesia, peran dan kontribusi mereka untuk kemakmuran jelas. Tetapi untuk kelas ksatria, politikus, saya tidak pernah mengerti apa kontribusi mereka untuk kemakmuran masyarakat. Pernahkan anda bertanya apa kerja para raja dan kaum bangsawan dalam kaitannya kemakmuran masyarakat. Untuk contohnya, misalnya dalam legenda Ramayana atau Mahabarata, atau dalam sejarah sultan-sultan Melayu di Sumatra, atau Gajah Mada, Hayam Wuruk, Ken Arok. Apa kerja mereka yang betul-betul produktif dan memberikan manfaat bagi kemakmuran?

Budaya manusia dibentuk dan direkayasa salah satunya oleh apa yang disebut dengan sejarah. Berbicara mengenai soal orang-orang yang berjasa, berguna bagi umat manusia, banyak tidak bisa menyebutkannya. Misalnya, pada saat anda mengendari mobil di jalan beraspal yang mulus, dan membandingkannya dengan jalan tanah atau berbatu atau jalan semen, tidak pernahkan anda berpikir siapakah yang menemukan aspal dan mulai menggunakannya untuk jalan raya?

Kalau kita bersantai dirumah, pada hari hujan lebat, berbadai, pernahkan anda berpikir siapa yang menemukan semen, bahan bangunan yang akrab dengan anda dan sangat berguna untuk membuat rumah, tempat berteguh dari hujan dan terik matahari, berlindung di waktu malam dari pencuri dan penjarah. Berapa banyak benda-benda yang memudahkan hidup kita yang terbuat dari semen selain rumah; jembatan, tiang listrik, jalan, tanggul penahan ombak, demaga kapal. Banyak lagi. Aneh bukan kalau penemu semen tidak ada yang tahu?

Kalau anda disuruh menyebutkan siapa presiden pertama Amerika Serikat, atau presiden pertama Indonesia, atau perdana mentri Canada pertama, maka dengan mudah anda menyebut nama G. Washington, Sukarno dan McDonald. Aneh bukan? Jasa apa yang mereka perbuat dalam berkaitan dengan kenyamanan hidup anda. Ambil saja Kemal Attartuk, atau Mahatma Gandi? Apa jasa mereka kepada anda dan umat manusia sehingga nama mereka ada di buku-buku sejarah dan harus dipelajari dan membuat anda hapal? Bandingkan dengan penemu aspal, semen, lampu atau penicilin (antibiotik).

Supaya anda tidak penasaran akan saya sebut nama penemu aspal. Aspal di dalam bahasa Inggris disebut tarmac, singkatan dari tar McAdam. John McAdam, seorang Scot, adalah pioneer untuk penggunaan aspalt/bitumen untuk kostruksi jalan raya jauh sebelun tahun 1900. Untuk semen, barang ini sudah ada sejak jaman Romawi kuno, dan tidak diketahui siapa penemunya. Sedang untuk penicillin, walaupun awalnya ditemukan sebagai antibiotik oleh mahasiswa kedokteran Prancis Ernest Duchesne, tahun 1896, tetapi yang diakui penemunya adalah Alexander Fleming tahun 1928.

Bagaimana bisa, orang-orang yang justru memberikan jalan kemudahan dalam hidup kita ini seperti John McAdam, Alexander Fleming, Ernest Duchesne, Carnot, tidak dikenal secara luas, sedang Washington, Gandi dan Sukarno, sangat dikenal?

Dunia diciptakan oleh politikus. Politikus atau dalam bahasa kastanya tidak lain adalah kelas ksatria adalah golongan benalu yang tidak produktif. Raja, anggota parlemen dan para ksatria – elit politik - pada jaman dulu, tidak lebih dari tukang palak, kurang lebih sama seperti pada jaman sekarang. Kalau anda menyusuri sungai Rhein atau Rijn, banyak kastil-kastil sepanjang sungai, di atas bukit. Juga kalau anda berkendaraan di Inggris dan Scotland, banyak dijumpai kastil-kastil, pemukiman para ksatria jaman dulu di atas bukit, memandang ke jalan jalur perdagangan di lembah bukit. Lihat betapa banyaknya kerajaan di sepanjang jalur perdagangan selat Malaka, seperti kesultanan Kedah, Perak, Selangor, Negri Sembilan, Malaka, Johor, Riau, Deli, Langkat, Samudra Pasai, Sriwijaya (Selat Malaka adalah jalur perdagangan dari Cina ke India dan Arab melewati laut). Pelaku kerajaan-kerajaan dulunya ini bagaikan para timer/tukang palak yang menjadi penguasa di sepanjang rute bis kota, atau pak ogah di tikungan jalan. Ketika para pedagang lewat, maka para penagih pajaknya akan meluruk untuk meminta pajak. (Apakah ini asal mula bea masuk dan pajak lewat? Entahlah)

Kalau kita baca cerita Ramayana, Mahabarata – keduanya menceritakan kehidupan kelas ksatria – tidak nampak sedikitpun cerita bagaimana para ksatria, elit politik, memakmurkan rakyat. Yang ada hanyalah menggunaan resources untuk kepentingan mereka – elit politik – sendiri, perang, perebutan harta dan kekuasaan. Demikian juga kalau kita baca biografi Sukarno, sulit menemukan dimana kegiatannya yang membuat makmur rakyat. Lalu...., bagaimana mereka yang sebenarnya tidak terlalu berguna itu bisa dikagumi dan disanjung-sanjung diluar batas jasa mereka?

Sejarah, kontrol terhadap penulisan itulah jawabannya. Para benalu (saya agak melebih-lebihkan) yang disebut politikus, elit politik, untuk mendapatkan pembenaran keberadaannya harus membuat image bahwa mereka penting. Mereka membuat pahlawan dari kalangannya dan mengagung-agungkannya. Semuanya itu dilakukan lewat sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah, atau kalau pada jaman dulu, dibuatkan legendanya dan dituturkan secara terus-menerus, turun temurun. Inilah kata Joseph Goebbels, mentri propaganda Jerman Nazi. Dia secara jujur mengakuinya:

“If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it. The lie can be maintained only for such time as the State can shield the people from the political, economic and/or military consequences of the lie. It thus becomes vitally important for the State to use all of its powers to repress dissent, for the truth is the mortal enemy of the lie, and thus by extension, the truth is the greatest enemy of the State.”

Intinya, bahwa kebohongan apa saja kalau didengungkan terus menerus, maka orang akan percaya. Sejarah diceritakan romantisme dan kehebatan para pelaku sejarah. Apakah itu seorang perampok/pencuri seperti Ken Arok, atau pembunuh berdarah dingin seperti Gajah Mada (Ingat pembantaian di Bubat), oleh sejarah dijadikan pahlawan. Romantisme, memberikan warna corak make-up dan bumbu berupa kehebatan dan keagungan para pelaku sejarah membuat pembacanya lupa essensi nilai-nilai moralnya. Moral yang bejad bisa tertutupi oleh meke-up dan bumbu romantisme. Tindakan Ken Arok membunuh Tunggul Ametung bupati, bapak angkatnya dan mengawini jandanya Ken Dedes kemudian menggantikan posisi bupati, bukan tindakan yang bermoral. Atau tindakan Gajah Mada membunuh seluruh keluarga calon mempelai wanita dari rajanya, bukan juga tindakan yang bermoral. Tetapi toh, keduanya dipersepsikan sebagai pahlawan. Sejarah juga menghapus catatan hitam seseorang. Anda tidak pernah mendengar rejim Sukarno memenjarakan group penyanyi Koes Bersaudara karena dia tidak suka lagu-lagunya yang cengeng.

Dalam sejarah, adakah diceritakan tentang penemu semen, aspal, kain katun, nilon atau mobil? Yang ada hanya cerita mengenai presiden, mentri, jenderal, dan sejenisnya. Dan mereka semua hebat. Saya akan memberikan contoh detail, yaitu Abraham Lincoln, salah satu presiden Amerikan yang disanjung dan dikenang sebagai presiden yang besar US kalau bukan yang terbesar. Demikian disanjungnya sampai ada bangunan sebagai salah satu yang tidak bisa dilepaskan dari image USA. Bangunan ini - Abraham Lincoln Memorial - dibangun untuk mengenangnya. Seakan orang telah melupakan atau tidak tahu bahwa kesengsaraan yang paling berat sepanjang sejarah yang dialami oleh rakyat Amerika adalah karena keputusan dan ulah Abraham Lincoln. Perang saudara antara Utara dan Selatan, Federationist dan Confederationist yang diputuskan Abe Lincoln adalah kesengsaraan yang terbesar dalam sejarah USA. Dimulai tahun 1861 dan berakhir tahun 1865 dan hanya 4 tahun menelan korban 620,000 atau 2% dari penduduk mati sia-sia. Kalau untuk ukuran sekarang, 2% dari penduduk US adalah 6 juta jiwa. Bayangkan betapa banyaknya.

Pahlawan atau orang konyol?

Kesengsaraan itu bukan hanya bagi jiwa yang melayang sia-sia, tetapi juga ekonomi. Pihak Federasi (pihaknya Abraham Lincoln), kehabisan uang. Tidak ada uang untuk melakukan aktifitas ekonomi. Tetapi, tentara harus digaji. Baru 1 tahun berperang pemerintah Federal sudah kebingungan cari dana untuk perang ini. Pada tahun 1862 pemerintah US memberlakukan undang-undangkan yang memberikan hak bagi pemerintah untuk mencetak mata uang nasional. Undang-undang hak mencetak uang tanpa back up apa-apa ini adalah yang pertama dalam sejarah USA. Maka dicetaklah uang-uang yang berwarna hijau. Uang-uang itu tidak sama dengan dollar yang sekarang, karena pada saat itu hanya satu sisi saja yang ada gambarnya. Disebut Greenback karena hanya satu sisi yang bergambar (dan warnanya hijau). Itulah asal muasal kata Greenback.

Penguasaan atas hak mencetak uang tanpa dukungan tangible asset seperti emas atau perak ini banyak menimbulkan sinisme dari banyak kalangan. Saya menemukan sebuah kartun mengenai hal ini (lihat gambar di bawah).

Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Federasi mencapai $15 milyar uang masa itu. Kalau diekivalenkan dengan masa sekarang adalah $ 600 milyar. Kalau populasi US seperti sekarang, 301 juta, maka setiap orang hanya menanggung $2000 per kepala. Tetapi pada waktu itu jumlah penduduk US hanya 31.4 juta, sehingga setiap orang harus menanggung beban dari pihak Federasi sebesar $20,000 per kepala. Sayangnya bukan hanya pihak Federasi yang mengeluarkan biaya, tetapi juga musuhnya, yaitu pihak Konfederasi. Katakanlah besarnya sama. Jadi dalam perang saudara – US Civil War, diperkirakan orang yang hidup harus menanggung beban sebesar $40,000. Itu banyak!



Orang boleh berargumen bahwa perang saudara US bertujuan mulia, penghapusan perbudakan. Orang waras mengatakan pengorbanan sia-sia. Pada saat itu perbudakan ada dimana-mana. Di Amerika selatan, Spanyol di Amerika Latin juga punya budak-budak negro. Di Asia dan Afrika masih berlaku perbudakan. Di daerah-daerah itu, di dunia secara umum selain US, perbudakan hilang tanpa setetes darah keluar dalam pertempuran, tanpa pertempuran apa-apa. Abraham Lincoln bisa melakukan penghapusan perbudakan tanpa perang, tanpa mengorbankan 2% dari pendudukanya dan tanpa membebani $ 40,000 (ekivalen uang tahun 2007) penduduknya. Ini hanya pengeluaran pemerintah dan tidak termasuk rumah-rumah harta benda, infra-struktur dan ladang yang hancur. Mungkin lebih besar dari pengeluaran pemerintah.

Alangkah sia-sianya. Pengorbanan sia-sia untuk keputusan yang tolol. Tetapi dia, Abraham Lincoln, sangat dipuja berkat promosi, bumbu dan image yang diciptakan elit politik. Itulah sejarah.

Pembentukan image bahwa politikus adalah kaum yang penting adalah sangat universal, kecuali mungkin dalam budaya Islam yang populer hanya 4 khalifah dan Salahuddin al-Ayubi (lain waktu akan kita bahas bagaimana gubernur Afrika Utara jaman Umar bin Khattab, yaitu Amr bin Ash justru menurunkan pemasukkan pajak dari 72 juta dinar per tahun di jaman pemerintahan Rumawi menjadi hanya 12 juta dinar, tetapi kemakmuran meningkat). Tidak hanya US, di Indonesia pun sejarah selalu mengagungkan kaum kstaria. “Jangan lupakan sejarah” kata Sukarno, walaupun Ken Arok adalah pencuri/perampok yang naik pangkat menjadi raja. Kita lihat bagaimana bangsa ini membanggakan perang kemerdekaan yang heroik dan penuh romantisme. Bagi yang tidak merasakan kesengsaraan perang, nampak seakan perang itu indah, heroik dan penuh romantisme. Tetapi, saya berani bertaruh kalau anda berada di medan perang dan tertembak kakinya. Tidak mati dan tidak hidup, dikepung musuh......., mungkin anda terkencing-kencing dicelana karena ketakutan atau lebih baik bunuh diri untuk menghilangkan stres. Nenek saya yang harus mengungsi ketika perang kemerdekaan, dan mendapati rumahnya rusak, emasnya yang ditanam (dipendam) di lantai kamar hilang, sawahnya rusak, masih terbius oleh image yang diciptakan para politikus. Saya mungkin yang masih waras dan tidak mempan bius itu. Kalau anda berpikir, apa gunanya perang? Suriname toh bisa merdeka tanpa perang. Juga Malaysia, Singapura....., dan sederet lagi. Perang tindakan tolol yang perlu pengorbanan sia-sia. Jangan tanyakan hal ini kepada politikus, mereka akan membantahnya. Tetapi satu hal, fakta bahwa Malaysia, Brunei, Singapura atau Suriname merdeka tanpa setetes darah pahlawan, adalah tidak bisa dipungkiri. Apakah pahlawan yang mati pada saat kemerdekaan itu sia-sia dalam arti bisa dihindari? Anda tidak perlu menjawabnya, cukup merenungkannya. Tetapi saya ingatkan, pengaruh sejarah terhadap pola pikir anda cukup kuat.

Harus diakui bahwa tidak semua warga ksatria dalam sejarah atau legenda digambarkan sebagai pahlawan. Pahlawan selalu memerlukan musuh – the bad guy. Hitler, Mussolini masuk dalam satu group dengan Rahwana atau Kurawa, the bad guy. Mungkin Hitler dan Mussolini tidak lebih buruk dari Abraham Lincoln. Hanya saja, para penulis sejarah tidak berpihak pada Hitler dan Mussolini karena mereka dipihak yang kalah dan tidak mempunyai kontrol terhadap penulisan sejarah.

Di Indonesia pada saat ini, terjadi fenomena bahwa orang sedang berlomba-lomba menjadi kelas ksatria aktif. Apakah itu ikut dalam partai politik termasuk organisasi kedaerahan. Ketika jaman Suharto, kebanyakan jadi ksatria pasif. Pada waktu itu, rejim Suharto, merekrut banyak pegawai negri untuk dijadikan anggota Korpri, yang mendukung partai berkuasa. Seandainya 90% pegawai negri dipecat, keadaan mungkin sama saja, tidak berpengaruh terhadap jalannya roda pemerintahan, bahkan mungkin lebih baik, karena tidak banyak pengganggu dalam masalah perijinan. Keadaan sekarang lebih parah. Karena posisi ksatria memang menggiurkan dari pada kelas wesia, kelas ksatria tidak membutuhkan ketrampilan. Lagi pula kelas jagoan/ksatria kenyataannya menguasai, mengatur-atur, menindas dan bisa menakali kelas wesia. Tetapi jangan lupa bahwa yang menghidupi masyarakat adalah kelas wesia.

Perpindahan dari kelas wesia yang produktif ke kelas ksatria yang benalu merupakan proses pemiskinan masyarakat. Kalau fenomena ini berlangsung terus, jangan iri kalau Malaysia akan jauh lebih makmur dari pada Indonesia di masa mendatang, walaupun dalam segi sumber alamnya Indonesia lebih banyak. Kemakmuran tidak butuh kelas politikus/ksatria.

Sebagai penutup ada dua poin yang tolol yang bisa direnungkan. Poin pertama yaitu: Untuk apa posisi wakil presiden? Dalam ilmu managemen organisasi, posisi one-to-one adalah mubazir. Posisi supervisor (atasan) yang membawahi satu (1) orang bawahan adalah mubazir. Seharusnya, seorang atasan (kalau memungkinkan) punya minimal 6 bawahan. Oleh sebab itu tanpa wakil presiden, kabinet masih bisa berfungsi. Ide mendudukan wakil presiden adalah ide yang tolol dan pemborosan.

Poin ke dua. Beberapa waktu lalu, ada hasil survey yang dilakukan oleh Tranparancy International Indonesia (TII) tentang indeks persepsi korupsi di Indonesia diumumkan (lihat situs http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18140&cl=Berita). Hasilnya mengatakan bahwa polisi, partai politik, parlemen (DPR) dan lembaga peradilan adalah lembaga terkorup di Indonesia (Lihat tabel di bawah untuk data dari tahun 2004 sampai 2007). Posisi juara selalu berpindah tangan dari tahun ke tahun dan finalisnya dari tahun ke tahun tetap sama, yaitu polisi, parlemen, peradilan dan partai politik.

Empat besar lembaga terkorup versi GCB

Sumber : TI Indonesia (klik untuk memperbesar)

Kalau dilihat, semua itu adalah dari kelas ksatria -birokrat dan aparatnya; bukan kelas wesia atau sudra (kasta terhina). Dalam sejarah atau ilmu politik dan ilmu tata negara, anda tidak pernah mendengar bahwa parlemen, polisi, partai politik dan peradilan itu korup. Anehnya, malah untuk menjalankan negara, digembar-gemborkan, dikatakan paling bagus adalah sistem trias politica, eksekutif, parlemen dan peradilan. Jelas trias politika adalah azas yang menganjurkan sistem yang korup.

Dua tahun lagi, tahun 2009, kita akan memilih para ksatria untuk didudukan sebagai pelaksana kekuasaan dan sebagai pembuat aturan. Dari tahun ke tahun telah kita lakukan. Apakah hidup kita lebih makmur? Apakah anda merasakan manfat keberadaan mereka? Apakah uang yang mereka tariki (pajak) dan kita bayar, sebanding dengan apa yang mereka berikan? Secara matematik, lebih baik mereka tidak ada. Anda menyewa satpam sebagai pengganti polisi untuk menjaga keamanan. Anda pergi ke badan arbitrasi kalau ada sengketa perdata, bukan ke pengadilan. Undang-undang juga sudah tumpang tindih. Jadi buat apa mereka?

Kata orang dari ilmu politik: “Power tends to corrupt.”

Konsekwensi logisnya: “More people with power lead to more corruption.”

Kaum wesia...., bangkitlah. Katakan tidak mau......, kepada mereka. Pilih kursi kosong. Wujudkan dengan membuat kartu suara anda tidak syah.

Jakarta akhir Desember 2007
Seandainya artikel di atas menginspirasi anda, kenapa tidak kenalkan situs ini kepada rekan-rekan anda supaya mereka juga terstimulasi intelektualnya.

1 comment:

Anonymous said...

Mas Imam, setiap kaum itu mesti ada pemimpinnya, yang mengatur atau setidaknya menjadi pihak yang dipercaya untuk mengurus kepentingan kaumnya.
Dalam ISLAM (yang saya fahami) pemimpin disebut juga KHADIM, yang artinya 'pelayan'. Maka jangan heran kalau mereka (para pemimpin) banyak yang bahkan lebih miskin dari kaum yang dipimpinnya.
~Tapi untuk urusan negara kita, cukup sulit menemukan pemimpin yang mau jadi khadim~